AJARAN TENTANG TUHAN ALLAH

Plato sekitar empat abad sebelum masehi memprotes ajaran agama yang berlaku di Yunani. Cerita-cerita tentang para dewata yang memiliki sifat-sifat seperti manusia, misalnya bahwa mereka saling tipu-menipu, saling bunuh-membunuh, berebutan wanita, dan sebagainya dipandangnya sebagai merusak moral para pemuda.
Oleh karena itu dengan mengadakan sensor terhadap para penyair, harus diusahakan adanya kesatuan di dalam kelakuan para dewata, yaitu bahwa para dewata harus hanya melakukan hal-hal yang benar dan adil saja. Mereka harus menjadi sumber segala yang baik, yang harus dilakukan oleh manusia. Pokoknya, para dewata jangan dijadikan sumber kejahatan.


Plato sendiri tidak menuntut adanya satu ilah atau tuhan, asal semuanya memiliki satu tabiat (nature) yaitu tabiat ilahi (divine nature) .
Segala perbuatan para dewata tidak boleh bertentangan dengan tabiat ilahi itu.

Tuhan jangan dipandang sebagai manusia, Tuhan harus dipandang sebagai keberadaan sejati (the real being) , zat yang bersifat akali atau rohani serta yang tidak berubah (the true, intelligible and immutable being).

Yang penting ialah, bahwa cara berada Tuhan harus diubah dari cara berada yang bersifat jasmaniah (material) menjadi cara berada yang akali atau rohani
(immaterial).


Zat yang ilahi, yang keadaannya akali atau rohani tadi, berada di belakang dan di atas kosmos atau dunia yang tampak ini, yaitu di dunia idea atau cita. Dengan demikian zat yang ilahi ini berada secara transenden, sebab tabiatnya adalah suatu kenyataan yang sukar ditembus oleh akal manusia. Kosmos yang tampak ini lebih menyelubungi hakekat yang ilahi daripada menyingkapkannya. Terlebih-lebih jikalau orang ragu-ragu akan kecakapan akalnya, maka yang ilahi ini akan makin menjadi tidak dapat dikenal.


Untunglah bahwa jiwa manusia keadaannya sama seperti yang ilahi tadi, yaitu bersifat akali, karena jiwa manusia juga berasal dari dunia idea atau cita. Dengan demikian, sekalipun zat ilahi tadi transenden, dalam arti tidak dapat ditembus oleh akal manusia, namun manusia dapat juga mengenalnya, yaitu dengan jalan seolah-olah mengupas Tuhan keluar dari selubungnya, dengan perantaraan akal manusia.

Pandangan Plato ini bila kita tinjau secara mendalam, kita mendapat kesan, bahwa sebenarnya akal manusialah yang menentukan bagaimana seharusnya Tuhan. Selanjutnya, pengertian tentang Tuhan juga menjadi kabur.
Dengan ajarannya tentang tabiat ilahi itu sebenarnya ilah atau tuhan menjadi pengertian yang predikatif, artinya: pengertian yang menunjuk kepada nama sifat. Tuhan menjadi ketuhanan atau yang ilahi. Dengan sendirinya tuhan seperti ini menjadi sasaran pemikiran manusia. Tuhan dianggap penting, bukan sebagai subyek yang berbuat, melainkan sebagai obyek atau sasaran yang menyinarkan sinar. Jika tuhan ini dipandang sebagai sebab segala sesuatu, hal itu bukan karena ia berbuat dengan tindakan-tindakannya, melainkan karena ia seolah-olah menarik segala sesuatu, tanpa dapat ditentang, seperti halnya dengan sebuah magnit menarik kikiran besi.


Dari uraian di atas kiranya juga jelas, bahwa yang menjadi dalil Plato ialah yang ilahi itulah Tuhan, bukan Tuhan adalah yang ilahi. Bagi Plato yang penting ialah yang ilahi dahulu, seolah-olah ada sesuatu yang ilahi, lalu yang ilahi ini dianggap Tuhan.


Pengaruh pandangan Plato ini ternyata besar sekali. Pada zaman di sekitar tarikh Masehi, telah menjadi pendapat umum di daerah sekitar Laut Tengah, bahwa yang disebut Tuhan harus memiliki tabiat ilahi, dan bahwa tabiat ilahi ini harus bersifat rohani dan akali (spiritualist dan intellectualist), dalam arti sebagai lawan dari segala yang bersifat bendawi atau jasmani (materialist). Segala sesuatu yang tidak memenuhi tabiat ilahi ini harus ditolak sebagai Tuhan. Manusia, sepanjang ia lebih daripada yang jasmani, mendapat bagian dari tabiat yang ilahi itu.

Mengherankan sekali bahwa pandangan yang demikian itu, yaitu bahwa akal manusia sendirilah yang menentukan bagaimana seharusnya yang ilahi, hingga berabad-abad mempengaruhi, bahkan menguasai pemikiran tentang Allah, bukan hanya di antara para ahli pikir Kristen, tetapi juga para ahli pikir Islam.

Gereja Roma Katolik umpamanya mengajarkan, bahwa ada jalan dari akal manusia kepada Allah. Dengan mempelajari alam semesta, manusia dapat mengenal Allah. Tetapi pengetahuan melalui akal ini belum sempurna, oleh karena itu di samping pengetahuan tentang Allah dengan perantaraan akal itu manusia masih memerlukan pengetahuan tentang Allah yang berdasarkan penyataan atau wahyu. Ajaran Roma Katolik yang mengenal pengetahuan tentang Allah yang dengan perantaraan akal itu disebut thelogia naturalis, theologia kodrati atau alami.Bahwa manusia dengan akalnya dapat mengenal Allah, juga diajarkan oleh para ulama Islam. Menurut Dr. H.M. Rasjidi dalam Filsafat Agama, hingga sekarang yang berlaku dalam dunia Islam ialah, bahwa Tuhan telah memberi akal kepada manusia. Dengan akal itu manusia dapat memikirkan hal-hal yang melingkunginya dengan alam kehidupannya dan akhirnya ia dapat mengetahui dengan akalnya tentang adanya Tuhan dan sifat-sifat Tuhan, kemudian Tuhan menambah suatu hal baru, yaitu menurunkan wahyu kepada beberapa orang yang diangkatnya sebagai utusan-Nya, di antaranya kepada nabi Musa, nabi Isa dan yang terakhir kepada nabi Muhammad.

Semua agama didasarkan atas keyakinan bahwa Allah atau yang dipertuhan memperkenalkan diri kepada manusia, sehingga manusia kenal Tuhannya, sekalipun pengenalan itu tidak sempurna. Karena pengenalan itulah, maka manusia dapat menyembah Tuhannya. Apakah mungkin manusia dari dirinya sendiri mengenal Tuhan, apakah ada jalan yang berpangkal dari manusia menuju ke pengetahuan tentang Tuhan atau yang dipertuhan?Sekalipun demikian, tiada kesamaan tentang soal bagaimana Tuhan memperkenalkan diri-Nya kepada manusia. Pada umumnya agama-agama mengajarkan, bahwa Tuhan memperkenalkan diri-Nya dan kehendak-Nya kepada manusia dengan perantaraan bisikan ilahi, dalam arti Tuhan memperkenalkan diri-Nya dan kehendak-Nya dengan membisikkan kehendak-Nya di dalam hati sanubari manusia, baik orang itu berfungsi sebagai imam atau pendeta, maupun berfungsi sebagai resi, atau nabi atau guru/kyai. Di dalam agama Islam kita mendengar bagaimana pada malam yang terkenal sebagai Lailatul-Qadar, atau malam Kebesaran (17 Ramadhan) Allah dengan perantaraan malaekat Jibril membisikkan perintah-Nya kepada nabi Muhammad SAW di bukit hira. Suara ilahi itu didengar di dalam hatinya, yang kemudian dibukukan di dalam kitab Al~Qur'an.

Menurut Alkitab Perjanjian Lama, sebenarnya tidak hanya ada satu atau dua kata saja yang dipakai untuk mengungkapkan perkenalan Allah dengan manusia. Dalam kitab Kejadian 12:1-3 Allah berfirman kepada Abraham supaya ia pergi dari negerinya dan dari sanak saudaranya serta dari rumah bapanya ke negeri yang akan ditunjukkan Allah kepadanya dengan janji, bahwa Allah akan menjadikan Abraham menjadi bangsa yang besar, dan menjadikan dia berkat bagi para bangsa. Di sini tidak diperoleh kesan bahwa firman itu diberikan dengan bisikan ilahi di dalam hati Abraham, sebab cara pertemuan Allah dengan Abraham ini berkali-kali diulangi sebagai pertemuan pribadi dengan pribadi, sebagai pertemuan antara aku dan engkau.

Kejadian 12:1-3,
"Berfirmanlah TUHAN kepada Abram: 'Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu; Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.'"

Dijumpai pula kisah pertemuan Allah dengan Yakub, dengan Musa, dan dengan tokoh-tokoh yang lain di Perjanjian Lama, juga pertemuan Allah dengan Israel sebagai bangsa.

Tidak ada komentar: